Budi Hantara, S.Pd.
Secara populer, globalisasi berarti menyebarnya segala seuatu secara cepat ke seluruh dunia. Globalisasi juga dapat dipandang menyempitnya dunia dan intensifikasi kesadaran bahwa dunia suatu keseluruhan. Definisi tersebut senada pendapat C. Sri Widayati, dkk. dalam bukunya Reformasi Pendidikan Dasar (Gresindo, Jakarta, 2002) yang menyatakan bahwa:
Globalisasi bagian perubahan ruang,
gerak,
dan waktu
dari
nilai-nilai manusia
universal menuju spektrum keluarga besar masyarakat dunia (global citizen) dengan konsekuensi
terjadinya benturan nilai dan kepentingan. Global citizen melahirkan global values yang merupakan paradigma masyarakat baru dunia usaha, yang suka atau
tidak suka harus
mulai disiapkan di Indonesia. Jika tidak
disiapkan serius, Indonesia akan tertinggal dalam persaingan
global yang sekaligus memunculkan peluang-peluang usaha baru akibat
kemajuan teknologi dan arus informasi global.
Dengan ditandai perkembangan pesat bidang
teknologi informasi di era ini, batas-batas antarnegara menjadi
sangat
tidak jelas lagi. Globalisasi menciptakan dunia makin terbuka dan
saling ketergantungan
antarnegara/antarbangsa.
Akibatnya,
semua negara
akan terbuka pula
terhadap
pengaruh globalisasi, termasuk di dalamnya tatanan nilai yang dianut
suatu
bangsa.
Salah
satu implikasi
pada tata nilai adalah globalisasi makin membuka
lebar hadirnya nilai materialisme,
konsumerisme, hedonisme,
kekerasan
dan
narkoba yang dapat merusak moral bangsa khususnya
generasi muda.
Seiring
kemajuan
teknologi informasi, nilai- nilai tersebut tak mungkin terbendung.
Demikian Paul Suparno menegaskan. (Reformasi Pendidikan Sebuah
Rekomendari, halaman 91).
Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat tak mungkin kita hindari, melainkan harus kita hadapi. Sixtus Tanje memberikan contoh ambivalensi globalisasi yang perlu disikapi para pendidik adalah:
1. Globalisasi menghadirkan pesona
“kecepatan” tetapi menimbulkan “kedangkalan pemahaman
pada anak
didik”.
2. Globalisasi
“menguntungkan bagi yang
berpikir
dan bertindak cepat”
tetapi celaka bagi
orang yang berpikir
dan bertindak lambat”.
3. Globalisasi akan
“memudahkan membuat hubungan
dan mengatasi jarak wilayah (lokalitas)” tetapi
“adanya
ketidakpekaan
pada akar dan ciri-ciri budaya
lokal”.
4. Globalisasi
akan “memunculkan potensi menyelesaikan
masalah secara cepat pada skala global” tetapi “menjadi beban keluasan lingkup pada skala penyebab masalah”.
Memanfaatkan Globalisasi
Para pendidik harus siap menghadapi tantangan globalisasi. Permasalahannya
bukan bagaimana cara membendung
dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan
dan
teknologi di era globalisasi, melainkan bagaimana cara memanfaatkan globalisasi untuk memajukan
berbagai aspek kehidupan bangsa.
Caranya dengan menerapkan strategi
pendidikan yang mampu menyiapkan anak memiliki nilai-nilai
(values) yang dibutuhkan untuk bersaing di era globalisasi dan informasi. Tidak ada
salahnya kita belajar
dari kebijakan Jepang yang sukses melahirkan sumber daya
manusia
unggul dan
berdaya saing tinggi. Jepang menggariskan tiga konsep pembaruan pendidikan (Japanese Goverment
Policies in Education, 1992)
1. Pertama, menekankan
sistem belajar seumur hidup.
2. Kedua, lebih
menekankan
pentingnya perkembangan individu berkaitan sikap mental positif,
rajin,
tekun, bekerja
keras,
konstruktif, bertanggung jawab,
dan setia.
3. Ketiga, membuat struktur pendidikan yang dapat mengikuti perubahan kontemporer, seperti internalisasi dan pembangunan ke arah masyarakat yang berorientasi informasi dan teknologi.
4. Globalisasi
akan “memunculkan potensi menyelesaikan
masalah secara cepat pada skala global” tetapi “menjadi beban keluasan lingkup pada skala penyebab masalah”.
Memanfaatkan Globalisasi
Para pendidik harus siap menghadapi tantangan globalisasi. Permasalahannya
bukan bagaimana cara membendung
dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan
dan
teknologi di era globalisasi, melainkan bagaimana cara memanfaatkan globalisasi untuk memajukan
berbagai aspek kehidupan bangsa.
Caranya dengan menerapkan strategi
pendidikan yang mampu menyiapkan anak memiliki nilai-nilai
(values) yang dibutuhkan untuk bersaing di era globalisasi dan informasi. Tidak ada
salahnya kita belajar
dari kebijakan Jepang yang sukses melahirkan sumber daya
manusia
unggul dan
berdaya saing tinggi. Jepang menggariskan tiga konsep pembaruan pendidikan (Japanese Goverment
Policies in Education, 1992)
1. Pertama, menekankan
sistem belajar seumur hidup.
2. Kedua, lebih menekankan pentingnya perkembangan individu berkaitan sikap mental positif, rajin, tekun, bekerja keras, konstruktif, bertanggung jawab, dan setia.
3. Ketiga, membuat struktur pendidikan yang dapat mengikuti perubahan kontemporer, seperti internalisasi dan pembangunan ke arah masyarakat yang berorientasi informasi dan teknologi.
Pesatnya kemajuan informasi dan
teknologi seharusnya
mempercepat laju reformasi
pendidikan di Indonesia. Reformasi pendidikan tingkat dasar dengan penguatan peserta didik untuk menghadapi
persaingan global harus diupayakan
secepatnya. Hal ini
tidak bisa ditunda
lagi, sebagai antisipasi
masa depan yang lebih baik
bagi
generasi mendatang.
(Reformasi Pendidikan Dasar, halaman 89). Pendidikan dasar (Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama) dipandang
penting
karena pada tingkat ini
menentukan
daya saing di
masa depan. Hal ini
sesuai pendapat Lee Iacocca, “Bila pendidikan
berhasil, orang
juga
akan berhasil.”
Lee Iacocca menyatakan keprihatinannya tentang daya saing Amerika di pasar dunia tahun 2000. Iacocca menyatakan, “Kalau seorang anak Amerika tidak berhasil bersaing dengan anak Jepang atau Jerman waktu dia berusia 12 tahun, hampir pasti dia tidak akan mampu bersaing dengan mereka di pasar dunia ketika berumur 30 tahun.”
Iacocca mengatakan bahwa keterampilan dasar yakni baca-tulis–hitung plus keakraban dengan komputer, perlu sekali. Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama mendapat tugas paling penting dalam seluruh jenjang pendidikan. Maka pada usia inilah seharusnya ditumbuhkembangkan sikap dan jiwa aktif, kritis, kreatif, dan kemandirian.
Perkembangan
teknologi
informasi
menyediakan
Penggunaan internet sebagai
bukti kecanggihan teknologi
dapat dimanfaatkan meningkatkan kemajuan dunia pendidikan. Untuk menghindari dampak
negatif penggunaan
internet, siswa harus mendapat arahan benar, baik dari guru
maupun orang tua. Agar penggunaan internet berfungsi
maksimal dalam pendidikan (pembelajaran), Paul
Suparno
menyarankan:
1. Informasi yang tersedia dapat dipilih dan digunakan guru untuk memperoleh pengetahuan sesuai bidang yang dipelajari serta memperoleh metode pembelajaran lebih maju.
2. Baik guru maupun siswa dapat memanfaatkan internet sebagai media komunikasi antarsiswa maupun guru dalam berbagai kelompok diskusi yang bernuansa akademik bersama komunitas berbasis internet di seluruh dunia.
Kita harus optimis menghadapi segala dampak kemajuan teknologiera globalisasi.
Pola pikir tradisional yang cenderung melihat sisi negatif harus diarahkan bahwa teknologi untuk kesejahteraan umat manusia. Paul Suparno dalam bukunya Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, (Kanisius, Yogyakarta, 2001) menjelaskan bahwa:
Kemajuan teknologi yang benar dapat membuat manusia makin maju dan menjadi manusia bernilai. Dalam kenyataan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sering membawa dampak negatif. Maka pembelajaran di sekolah harus dapat menjadikan siswa sadar dan kritis akan dampak negatif kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, agar tidak terjerumus. Ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan. Dalam konteks demikian, maka pembelajaran harus memberikan peluang cukup bagi para siswa mengaplikasikan bentuk pengetahuannya dalam kehidupan sehari-hari.
Catatan:
Artikel ini dimuat Majalah
Media No.07/Th.XLIII/Sept.
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar