Jumat, 19 Juni 2020

CARA MUDAH MENULIS SASTRA

Pada tulisan sebelumnya, sudah dibahas Proses Menulis Pentigraf (https://bengekelliterasibudihantara.blogspot.com/2020/06/proses-menulis-pentigraf.html) secara jelas dan mudah. Pada kesempatan ini kita bisa mengembangkan Pentigraf (Cerpen tiga paragraf) menjadi Penagraf, Cerpen atau novel. Pentigraf merupakan cerpen singkat yang terdiri dari tiga paragraf. Bila ingin mengembangkan menjadi cerpen panjang atau novel bisa dilakukan dengan cara mengembangkan dari tiap-tiap paragraf atau bisa juga memilih paragraf tertentu. Misalnya kita memilih untuk mengembangkan dari alinea ketiga seperti contoh berikut ini.  

GURU MILENIAL 
Oleh: Budi Hantara 

     Sengat mentari membakar kotaku yang porak poranda. Mega proyek yang bermuatan politis dan sarat nuansa korupsi menggusur pemukiman warga. Deru monster penghancur memperparah tingkat polusi yang sudah melebihi ambang batas toleransi. Sebagai seorang guru di sekolah yang berada di sekitar proyek itu, aku merasa sangat terganggu. Suaraku tenggelam di antara deru suara monster penghancur yang kian menggila. Ulah murid-murid bengal milenial yang kubimbing menambah kejengkelanku. Mereka tak peduli apalagi menghormati guru. Debu globalisasi telah mengotori hati nurani mereka. Etika dan moral mereka terkontaminasi virus zaman yang ganas. 
     Menghadapi revolusi industri 4.0 tantangan guru semakin berat. Sebagai guru aku dituntut untuk membekali kompetensi yang diperlukan anak-anak bangsa. Mereka harus menjadi pribadi yang unggul dan berkwalitas. Namun kondisi dilematis yang datang dari orang sering menghadang. Guru harus sabar dan bijak menghadapi orang tua murid bengal. Sikap arogansi orang tua bisa menjadi duri yang merusak dunia pendidikan. Niat guru yang tulus untuk mendidik tidak didukung, tapi malah dihujat. Bahkan nasehat guru untuk mendidik dianggap menghardik. 
     Guru milenial harus tangguh dan pantang menyerah. Tuntutan profesi harus memiliki kompetensi tinggi. Menguasai teknologi dan selalu up date informasi. Penilaian harian pun menggunakan aplikasi CBT. Namun hari ini saat mengadakan penilaian, aku merasa dipermalukan. “Pasti ini ulah Jery, murid bengalku.” dalam hatiku mengutuk penuh curiga. Keringat membasahi keningku, karena menahan gejolak emosi. Suasana kelas semakin kacau. “Tenang, anak-anak.” Namun mereka tak peduli. Suara mereka bersautan bernada mengejek. “Haha... santai sajalah Pak. Ngapain repot-repot ulangan. Langsung kasih nilai sesuai KKM saja beres.” Ucapan Jery membuat telingaku panas. Kuemparkan tatapan garangku padanya. Jery malah berjalan ke arahku dengan kedua tangan di balik punggungnya. Aku harus waspada. Jangan-jangan membawa membawa benda tajam dan berniat jahat padaku. “Kembali ke tempat dan duduk!” bentakku menggertak. Namun dia terus melangkah mendekatiku. Hatiku berdebar-debar. Tepat di depanku dia menundukkan kepala dan keduaa tangannya memberikan kejutan. Setangkai bunga dipersembahkan padaku. “Selamat Hari Guru. Jangan bosan mendidik murid bengalmu!” semua murid mengikuti Jery, mencium tanganku dan mengucapkan selamat hari guru. 

Ngawi, 24112018 

 GURU MILENIAL
 Oleh: Budi Hantara 

     Sengat mentari membakar kotaku yang porak poranda. Mega proyek bermuatan politis dan sarat nuansa korupsi menggusur pemukiman warga. Deru monster penghancur memperparah tingkat polusi yang sudah melebihi ambang batas toleransi. Sebagai seorang guru di sekolah yang berada di sekitar proyek itu, aku merasa sangat terganggu. Suaraku tenggelam di antara deru suara monster penghancur yang kian menggila. Ulah murid-murid milenial yang bengal menambah kejengkelanku. Mereka seolah tak peduli pada guru. Debu globalisasi telah mengotori hati nurani mereka. Etika dan moral mereka terkontaminasi virus zaman yang ganas. 
     Menghadapi revolusi industri 4.0 tantangan guru semakin berat. Sebagai guru aku dituntut untuk membekali kompetensi yang diperlukan anak-anak bangsa. Mereka harus menjadi pribadi yang unggul dan berkwalitas. Namun kondisi dilematis sering datang menghadang. Guru harus sabar dan bijak menghadapi orang tua murid bengal. Sikap arogansi orang tua bisa menjadi duri yang merusak dunia pendidikan. Apalagi dengan hadirnya oknum LSM yang sering memperkeruh situasi. Niat guru yang tulus untuk mendidik tidak didukung, tetapi malah dihujat. Bahkan niat baik guru untuk mendidik, sering dianggap melanggar HAM dan berujung ke ranah hukum. 
     Guru milenial harus tangguh dan pantang menyerah. Tuntutan profesi mengharuskan memiliki kompetensi tinggi. Menguasai teknologi dan selalu up date informasi. Penilaian harian pun menggunakan aplikasi berbasis komputer (CBT). Bagiku tak menjadi masalah, namun hari ini aku menghadapi masalah. Tiba-tiba listrik di ruang kelasku mati. Perangkat yang biasanya selalu on line ikut eror. Rencana untuk mengadakan penilaian terancam batal. Anak-anak bengal dan pemalas pasti senang melihat situasi seperti ini. “Pasti ini ulah Budi, murid bengalku.” dalam hatiku mengutuk penuh curiga. Keringat membasahi keningku, karena menahan gejolak emosi. Suasana kelas semakin kacau.       “Tenang, anak-anak.” Namun mereka tak peduli. Suara mereka bersautan bernada mengejek.                 “Haha... santai sajalah, Pak. Ngapain repot-repot ulangan. Langsung kasih nilai sesuai KKM saja beres.” ucapan Budi membuat telingaku panas. Kulemparkan tatapan garangku padanya. Budi malah berjalan ke arahku dengan kedua tangan di balik punggungnya. Aku harus waspada. Jangan-jangan dia membawa benda tajam dan berniat jahat padaku. 
     “Kembali ke tempat dan duduk!” bentakku menggertak. Namun dia terus melangkah mendekatiku. Hatiku berdebar-debar. Tepat di depanku dia menundukkan kepala dan kedua tangannya memberikan kejutan. Setangkai bunga dipersembahkan padaku.
     “Selamat Hari Guru. Jangan bosan mendidik murid bengalmu!” semua murid mengikuti Budi, mencium tanganku dan mengucapkan selamat hari guru. 
    Satu minggu berikutnya aku mengajar di kelas IX i yang bisanya super heboh. Namun hari itu suasananya sangat berbeda. Tak terdengar suara bernada saling mengejek seperti biasanya. Sebelum memulai pelajaran, seperti biasa aku mengecek kehadiran murid-muridku. Ternyata Budi sudah empat hari tidak masuk tanpa keterangan. 
     “Ada yang tahu tentang Budi?” tanyaku. Adi sebagai ketua kelas menjawab dengan nada meyakinkan. 
    “Katanya mau keluar, Pak. Dia sudah izin keluar dari WAG kelas dan tak bisa dihubungi lagi. Gawainya tidak aktif.”
     “Apa alasannya mau keluar?”
     “Tidak tahu, Pak.”
     “Terima kasih informasinya. Sekarang mari kita lanjutkan pelajaran.” Walaupun berusaha mengajar seperti biasanya, sesungguhnya gejolak hatiku tak karuan. Sebagai wali kelas aku bertanggung jawab untuk membimbing Budi sampai lulus. Seusai pelajaran, aku segera ke ruang Bimbingan Konseling untuk membahas soal Budi. Kami sepakat melakukan kunjungan ke rumah Budi. Karena guru BP sedang banyak kegiatan, maka aku berangkat sendiri. 
     Aku menyusuri jalan berdebu dengan sepeda motor tua yang selalu setia menemani perjalananku. Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya kutemukan rumah Budi. Di ujung gang buntu yang sempit aku berhenti. Kupandang rumah sederhana di dekat rumpun bambu. Kuketuk pintu dan kuucapkan salam. Samar-samar kudengar suara yang mempersilakan masuk.
     “Masuk saja. Pintunya tidak dikunci.” Aku melangkah dengan hati tak tenang. Mataku terkesiap saat melihat seorang lelaki tua tergolek di atas tempat tidur yang terbuat dari bambu.
     “Maaf, Bapak siapa?” suaranya pelan di sela-sela batuk rejan yang kronis. 
    “Saya gurunya Budi, Pak.”
     “Maaf merepotkan. Budi terpaksa saya suruh berhenti sekolah.”
     “Kenapa disuruh berhenti, Pak?”
     “Saya sudah tak bisa bekerja. Terpaksa Budi yang harus bekerja untuk menyambung hidup.” Lelaki itu menatapku seolah memohon pengertian. Spontan naluriku terketuk dan mengingatkanku pada bayangan almarhum ayahku. Kupeluk lelaki bertubuh kurus yang malang itu. Aku tak sanggup bicara lagi. Kepalaku penuh dengan berbagai rencana. Bagaimana caranya agar lelaki itu segera sehat dan Budi bisa melanjutkan sekolah. 
     Aku percaya pada kasih Tuhan. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya. Dengan penuh harap aku minta bantuan dr. Sumiati untuk menolong lelaki itu. Selain masih ada ikatan saudara, dr. Sumiati adalah mantan muridku yang baik hati. Alhamdulillah, bagai gayung bersambut, dr. Sumiati siap merawat dengan suka rela. Bahkan biaya pendidikan Budi akan ditanggung. Rasa bahagia tak terkira mendengar kesanggupan dr. Sumiati untuk menolong keluarga Budi.
     Beberapa tahun kemudian aku memasuki purna tugas.Karena faktor usia, aku sering lupa membawa dompet yang berisi surat-surat penting. Hari ini aku benar-benar senam jantung. Seorang polisi menghampiriku. Aku baru sadar bahwa dompetku di celana yang kutaruh di tempat cucian. “Pasti kena tilang” pikirku. Namun polisi itu tidak menanyakan STNK. Dia malah mencium tanganku. 
     “Saya Budi, Pak. Sekarang saya dinas di Polres Ngawi.” Mendengar kalimat itu, aku tak bisa menyembunyikan rasa bangga.
 Ngawi, 24112018 

     Baca dan bandingkan Pentigraf yang berjudul GURU MILENIAL dan cerpen GURU MILENIAL di atas. Pada contoh tersebut yang dikembangkan adalah paragraf ketiga.
Silakan mencoba. Mari berkarya dan berbagi inspirasi dalam rangka menciptakan budaya literasi yang bermartabat.

Ngawi, 20 Juni 2020.

Jumat, 12 Juni 2020

PROSES MENULIS PENTIGRAF

        Pentigraf(Cerpen tiga paragraf) merupakan karya sastra yang semakin populer di kalangan para penulis sastra saat ini. Salah satu tokohnya adalah Tengsoe Tjahjono sastrawan yang sudah sangat terkenal. Pentigraf sangat mudah dipelajari dan menarik karena karya sastra ini bisa menjadi embrio lahirnhya karya sastra seperti Cerpen dan Novel.

Berikut ini teori menulis Pentigraf:
1. Fokus pada persoalan yang dihadapi seorang tokoh atau tema yang diangkat. 
  Elemen narasi yang  berupa tokoh, alur dan latar dihadirkan secara bersama-sama dalam satu jalinan yang utuh.
2. Kurangi dialog. Ubah dialog ke dalam teks deskripsi atau narasi.
3. Usahakan ada kejutan pada paragraf ke-3, hal yang tak terduga, yang bisa meimbulkan suspense atau kejutan.
4. Panjang paragraf hendaknya dalam ukuran wajar.
    Minimal satu kalimat, namun jangan lebih dari sepuluh kalimat.

Proses Menulis Pentigraf
        Sebuah karya sastra selalu bermula dari bahan. Bahan penulisan karya sastra adalah pengalaman sehari-hari, realitas faktual, atau realitas obyektif, realitas yang dialami atau diindra oleh seorang penulis. Misalnya pada suatu ketika Anda menyaksikan kehidupan seorang nenek tua. Dia hidup sebatang kara di sebuah gubug reot di pinggir sungai. Pekerjaan nenek itu sebagai pemulung. Dari cerita itu misalnya Anda menulis pentigraf sbb:

NENEK SEBATANG KARA
Oleh: Nama Penulis (sebelum memahami teori)

    Di pinggir sungai yang airnya mengalir deras berdirilah sebuah gubug reot yang sangat memprihatinkan. Atapnya terbuat dari seng, terlihat bocor di sana-sini. Andaikan sungai itu meluap gubug itu pasti ikut hanyut diseret air. 
         Siapa penghuni gubug itu? Dia adalah seorang nenek tua yang tinggal sebatang kara. Orang-orang tak mengenali nenek itu. Mereka juga tidak tahu siapa keluarganya. Mungkin saja dia tidak mempunyai suami, apalagi anak. 
       Tiap hari nenek tua itu bekerjaa memungut barang-barang bekas di bukit saampah yang terletak tidak jauh dari gubugnya. Sungguh menyedihkan kehidupan nenek malang itu.

         Bandingkan sekarang realitas obyek dengan teks pentigraf Anda di atas. Tidak berbeda, bukan? Anda hanya memindahkan realitas faktual tentang kehidupan nenek tua ke dalam pentigraf. Anda belum mengolahnya menjadi sebuah realitas baru, realitas imajinatif. Anda baru sebatas melaporkan peristiwa atau keadaan, Anda belum benar-benar menciptakan suatu dunia baru dalam pentigraf Anda. Dengan bahan realitas faktual yang sama Anda bisa menulis pentigraf seperti contoh berikut ini.


TIGA HARI 
Oleh: Nama Penulis (setelah memahami teori)

        “Aku masih kuat bekerja,” kata nenek tua itu ketika Yeny, petugas Dinas sosial, yang berusaha membujuknya untuk pindah ke tempat penampungan yang lebih layak. Kedua perempuan iu sama-sama memandang gubug di bantaran sungai tersebut, tentu dengan pikiran yang saling berbeda. Hujan turun sudah tiga hari ini. Air sungai pun sudah mencapai bibir. Gubug beratag seng yang bolong di sana-sini tak mampu bertahan dari gempuran air. Matras bekas, yang tak lagi berbentuk, basah. Bahkan, lantai tanah itu becek oleh genangan.
         “Hujan makin deras, Ibu. Ibu ikut kami saja,” bujuk Yeny sambil mengusap wajahnya yang basah oleh lelehan hujan. Nenek tua itu bersikukuh. Dia malah meringkuk di matras yang basah. Dalam batinnya terbentang kalimat: “Ini rumahku. Tak akan aku tinggalkan, apapun yang terjadi.” Yeny melirik petugas Dinas Sosial lainnya. Ada empat leki-laki bersamanya. Keempat laki-laki itu merangsek ke dalam, berusaha mebopong sang nenek. Nenek itu meronta. Setua itu tubuhnya terlihat perkasa. Tak mudah membetotnya dari matras lapuk yang sudah tak berbentuk itu. 
         Hujan turun sangat lebat. Suara gemuruh terdengar dari hulu. Dalam hitungan detik air sungai itu meluap, coklat dan keras menerjang. Yeny terkejut. Empat laki-laki itu berusaha memegang dan menyeret nenek tua itu sekuat tenaga, melawan terjangan air. Nenek itu lengket dengan matrasnya. Tak mudah. Pegangan itu pun terlepas. Hanya dalam satu tarikan napas gubug itu tersapu banjir. Berantakan jadi serpihan papan dan seng. Sebuah matras tua tampak timbul tenggelam. Entah, nenektua itu di mana. Yeny dan empat kawannya melongo di atas mobil Dinas Sosial. Dia menangis, “Aku telah gagal haari ini.” Hujan tidak makin reda. 

         BANDINGKAN dua contoh Pentigraf di atas. Sangat berbeda, bukan? Pentigraf berjudul “Hujan Tiga Hari” telah berubah mejadi realitas baru, sebuah realitas imajinatif. Penulis telah sunguh-sungguh Membangun, Membentuk, Mencipta, Mengangkat pengalaman sehari-hari atau realitas obyektif menjadi sebuah dunia baru yang memiliki Nilai Lebih dibandingkan dengan pengalaman yang telah diamatinya. Sekarang silakan Anda menulis Pentigraf. Salam Literasi.

Ngawi, 13 Juni 2020
Penulis: Budi Hantara

Rabu, 10 Juni 2020

MENANAMKAN KARAKTER PEDULI LINGKUNGAN MELALUI PEMBELAJARAN IPS


Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat manusia. Pesatnya perkembangan IPTEK ditandai dengan hadirnya teknologi canggih yang dapat membantu aktivitas manusia. Perkembangan IPTEK dapat memfasilitasi kegiatan usaha semakin lancar sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan. Namun demikian berkembangnya IPTEK juga menimbulkan dampak negatif. (Iwan Setiawan dkk, 2016, Ilmu Pengetahuan Sosial, Jakarta, Kemendikbud, halaman 173).  Penggunaan teknologi canggih pada zaman modern ini tak bisa kita hindari. Setiap individu bisa memanfaatkan teknologi secara bebas untuk berbagai kepentingan. Modernitas yang menawarkan kebebasan individual bila tak diimbangi dengan karakter individu yang baik bisa menimbulkan perilaku tidak terpuji. Banyak orang yang  menyalahgunakan teknologi untuk mencapai tujuan tertentu. Ada pihak tertentu yang sengaja mencari keuntungan pribadi di tengah perubahan yang serba cepat. Hal ini terjadi pada semua lapisan masyarakat. Tingginya tingkat korupsi, dan rendahnya produktivitas pekerja menunjukkan bahwa karakter masyarakat Indonesia belum kuat. Doni Koesoema (2007:286) menyebutkan bahwa dunia pendidikan Indonesia mengalami penyakit kronis yang mengancam jiwa orang lain dan peserta didik.


Pendidikan dapat mengambil peranan besar  dalam pembentukan karakter peserta didik.  Oleh sebab itu maka negara memiliki kepentingan besar dalam bidang pendidikan, yaitu untuk mempersiapkan peserta didik agar memiliki karakter yang kuat dalam rangka mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan,  “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik  agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.  Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) sebagai subsistem pendidikan nasional memberi kontribusi penting dalam pembentukan karakter peserta didik. Mata Pelajaran IPS diajarkan di sekolah bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang baik berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan menitikberatkan pada pengembangan individu yang dapat memahami masalah-masalah yang berada di lingkungannya, baik yang berasal dari lingkungan sosial maupun lingkungan alam, selain itu dapat berpikir kritis dan kreatif, dan dapat melanjutkan serta mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa, (Ilmu Pengetahuan Sosial, Depdiknas, 2005, halaman 7). Sedangkan karakter sebagai hasil dari pendidikan membawa arti penting dalam kehidupan di masyarakat. Karena itu sangat penting memahami nilai karakter yang dilaksanakan dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).  

Upaya Menanamkan Karakter Peduli Lingkungan pada Peserta Didik
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) diperlukan dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat diidentifikasikan.  Penerapan IPS perlu dilakukan secara bijaksana agar tidak berdampak buruk terhadap lingkungan.  Pembelajaran diarahkan untuk merancang dan menerapkan konsep IPS secara ilmiah dan bijaksana.  Penyajian kegiatan pembelajaran yang belum menanamkan nilai-nilai karakter bangsa dapat menimbullkan karakter peserta didik lemah dan mudah terbawa arus globalisasi yang negatif serta kurang peduli dengan lingkungan sekitar (Permendiknas No. 24. 2006: 484-485).
Pengalaman pribadi saya sebagai guru IPS masih sering menemukan peserta didik yang memiliki karakter kurang peduli terhadap lingkungan. Pelaksanaan pembelajaran IPS yang saya lakukan di SMP Negeri 1 Ngawi masih mengalami hambatan dalam menanamkan karakter peduli lingkungan pada peserta didik. Karakter peduli lingkungan peserta didik, terutama kelas 7, belum membudaya. Hal ini bisa saya maklumi karena peserta didik kelas 7 berasal dari berbagai latar belakang keluarga dan sekolah yang berbeda. Mereka perlu proses untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Supaya peserta didik cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah maka perlu ada upaya untuk melakukan sebuah tindakan nyata. Sebagai warga sekolah SMP Negeri 1 Ngawi yang berpredikat sebagai sekolah Adi Wiyata tentunya harus memiliki karakter peduli lingkungan. Dari hasil observasi pada bulan Juli – Agustus  2019,  menunjukkan karakter peduli lingkungan peserta didik kelas 7 masih rendah. Pendidikan karakter peduli lingkungan yang rendah saat pengamatan dapat dilihat dari kebersihan lingkungan kelas yang kotor dan tidak rapi. Kondisi ini terjadi karena siswa yang seharusnya  piket membersihkan kelasnya masih ada yang terlambat dan tidak melaksanakan tugasnya. Rendahnya karakter peduli lingkungan jua bisa dilihat pada saat kegiatan Sabtu bersih. Banyak peserta didik yang menghindar dari tanggung jawab membersihkan lingkungan kelasnya. Ada pula yang melaksanakan kegiatan Sabtu bersih tetapi belum sesuai harapan. Misalnya beberapa peserta didik  belum memisahkan sampah organik dan non organik ketika membuang sampah. Bahkan masih ada siswa yang membuang bungkus makanan pada pot bunga di depan kelas. Kebiasaan buruk peserta didik yang membuang bungkus makanan sembarangan menunujukkan betapa rendahnya karakter peduli mereka pada lingkungan. Sikap kurang peduli lingkungan tersebut mungkin  disebabkan karena guru belum menerapkan pendidikan karakter peduli lingkungan yang diintegrasikan dalam pembelajaran, terutama pembelajaran IPS yang mengkaitkan dengan lingkungan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan menanamkan karakter peduli lingkungan dalam pembelajaran IPS, maka guru harus memberi teladan dalam bentuk tindakan nyata. Berdasarkan pengalaman yang saya lakukan pada peserta didik, khususnya kelas 7H SMP Negeri 1 Ngawi, terbukti menunjukkan perubahan positip. Membimbing peserta didik kelas 7 yang masih kekanak-kanakan, sangat mengesankan. Berdasarkan Kurikulum 2013, materi awal semester ganjil mata pelajaran IPS kelas 7 tentang Manusia, Tempat dan Lingkungan. Materi ini sangat sesuai untuk menanamkan karakter peduli lingkungan pada peserta didik.
Selama bulan Juli – Agustus  2019, peserta didik saya ajak melakukan gerakan hidup bersih dan peduli lingkungan. Pada awalnya saya ajak mengamati lingkungan sekitar kelas yang masih kotor. Setelah melakukan pengamatan, peserta didik saya minta menuliskan pendapatnya tentang lingkungan yang diamati. Pada umumnya peserta didik menyadari bahwa lingkungan kelasnya kotor dan perlu dibersihkan. Selanjutnya saya memberikan pengarahan secukupnya untuk ditindaklanjuti oleh peserta didik. Untuk mempermudah pemantauan aktivitas siswa maka saya menggunakan beberapa indikator.  Indikator aspek karakter peduli lingkungan yang saya gunakan sebagai berikut;
1. Menjaga lingkungan kelas supaya tetap bersih,
2. Menjaga lingkungan kelas supaya tetap rapi,
3. Merawat tanaman asuh/menyiram bunga,
4. Membuang sampah pada tempatnya,
5. Melakukan usaha memperbaiki kerusakan di lingkungan kelas.
Aktivitas peserta didik selama proses belajar mengajar, saya amati dengan serius. Karena aktivitas peserta didik berpengaruh pada terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada perubahan perilaku atau karakter. Terbukti bahwa secara bertahap peserta didik yang saya bimbing menunjukkan perubahan perilaku positip. Berdasarkan pengalaman tersebut maka guru perlu memberi contoh konkrit dalam bentuk tindakan kepada peserta didik untuk menanamkan karakter peduli lingkungan. Misalnya  dengan cara menjaga kebersihan lingkungan kelas, menjaga kerapian lingkungan kelas, merawat tanaman asuh/menyiram bunga, membuang sampah pada tempatnya  dan melakukan usaha memperbaiki kerusakan lingkungan. Peserta didik dapat meningkatkan kerjasama melalui diskusi kelompok sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara optimal.
Bagi guru mata pelajaran IPS sebaiknya berusaha menanamkan karakter peduli lingkungan secara terintegrasi dengan materi pembelajaran IPS yang sesuai. Kegiatan ini harus dilakukan secara berkelanjutan sehingga menjadi kebiasaan yang melekat pada setiap pribadi peserta didik. Proses seperti ini bermanfaat untuk menanamkan karakter peduli lingkungan. Semoga upaya meningkatkan karakter peduli lingkungan ini dapat dikembangkan lebih lanjut, oleh guru maupun pengembang pendidikan lainya, sehingga karakter peduli lingkungan peserta didik membudaya di sekolah.

Ngawi, 9 Juni 2020
Penulis Guru SMP Negeri 1 Ngawi
Alamat Kantor: Jl. Ronggowarsito no 1 Ngawi 63211
No HP. 082142365476

Senin, 01 Juni 2020

MENULIS CERITA UNTUK MEMOTIVASI SISWA

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” (Pramoedya Ananta Toer, House of Glass)

            Kutipan di atas menginspirasi banyak orang untuk menjadi penulis. Setiap orang bisa menjadi penulis. Tak ada batasan bahwa penulis harus pandai atau harus orang baik. Bila didasarkan pada syarat tersebut pasti sangatlah sedikit orang yang bisa menjadi penulis. Termasuk saya pasti sudah tak memenuhi syarat. Penulis itu orang yang merdeka. Jiwanya tak bisa dikungkung. Selalu penuh ide dan kepuasan batinnya tak bisa diukur dengan materi. Soal mendapat honor atau mendapat gelar sebagai pengarang atau sastrawan, anggap saja itu bonus.

           

Menulis Membuat Hati Gembira

Bagi saya menulis itu bisa membuat hati gembira karena bisa berbagi banyak hal. Saya sangat bahagia bila tulisan saya dibaca oleh banyak orang dan bisa menjadi inspirasi. Melaluii tulisan, saya bisa menyebarluaskan virus kebaikan dan memberikan sugesti positip kepada pembaca. (Karena saya sebagai guru terutama memberikan motivasi dan sugesti positip kepada para siswa). Ide-ide kreatif yang ada di benak saya bisa lebih bermanfaat bila disampaikan kepada banyak orang tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Bisa di mana saja dan kapan saja. Hanya tulisan yang bisa melampaui batas ruang dan waktu. Bila hanya melalui bahasa lisan, ruang dan waktu yang kita jangkau sangatlah terbatas. Tetapi bila dituangkan menjadi tulisan pengaruhnya akan jauh lebih luas. Sampai kita matipun ide-ide kreatif dan virus kebaikan yang kita sampaikan akan tetap hidup.

            Guru memiliki ruang yang sangat strategis untuk menyebarkan virus kebaikan dan ide-ide kreatif. Para siswa bukan hanya sebagai obyek namun juga berperan sebagai corong yang luar biasa untuk menyebarluaskan kabar gembira dan kebaikan bagi sesama. Saya selalu bahagia bila melihat para siswa. Bagi saya mereka adalah para juara. Di wajah mereka saya membayangkan masa depan Indonesia lima belas tahun lagi menjadi seperti apa. Saya mengajak siswa kelas 7 untuk membayangkan dan  menghitung lima belas tahun lagi mereka akan menjadi seperti apa. Logikanya bila sekarang kelas 7 maka tiga tahun lagi akan masuk SMA/SMK. Tiga tahun berikutnya masuk perguruan tinggi dan bila lancar empat tahun meraih gelar sarjana. Sepuluh tahun untuk belajar dan 5 tahun untuk berjuang meraih pekerjaan dan penghidupan yang layak. Waktu lima belas tahun itu bisa menjadi salah satu indikator untuk melihat keberhasilan siswa kelas 7 yang saya bimbing saat ini. Tentu saja ini ukuran menurut kaca mata saya. Boleh percaya boleh tertawa.

            Mengajar kelas 7 itu sangat menyenangkan. Walaupun sangat kekanak-kanakan, mereka justru lebih menantang. Menurut saya di kelas 7 inilah saat yang lebih tepat untuk menanamkan nilai-nilai kepribadian dan pembentukan karakter. Pada umumnya para siswa kelas 7 yang saya bimbing suka mendengarkan cerita. Saya memanfaatkan hal itu untuk memasukkan nilai-nilaii moral, hakekat hidup dan Ketuhanan sesuai iman dan kepercayaan mereka. Dari tahun ke tahun saya semakin mengenal karakter siswa. Pada umumnya mereka suka mendengarkan cerita dan malas membaca. Saya berpikir bagaimana caranya menumbuhkan minat baca di kalangan mereka. Saya ajak mereka keluar kelas dan melihat pohon asam yang rindang menghijau dihalaman SMP Negeri 1 Ngawi. Mereka saya ajak mengamati dan berimajinasi tentang pohon asam itu. Selanjutnya mereka saya beri tugas untuk menuliskan apa saja menurut gaya dan kemampuannya. Sekitar 30 menit belum ada satupun yang menunjukkan hasilnya. Ada yang hanya menuliskan beberapa kalimat, bahkan ada yang tidak menuliskan apa-apa. Saat itu saya mencoba membaur bersama mereka dan berusaha menjadi mereka. Saya juga menulis bersama mereka. Sekitar 10 menit kemudian saya tawarkan kepada mereka untuk membacakan tulisan saya. Mereka berebut untuk membaca. Saat itu muncul ide di benak saya. “Bila ingin mendorong mereka rajin membaca dan menulis, maka saya harus memberi contoh dalam tindakan nyata.”

           

Pengalaman Berharga

Selain menulis untuk bahan pengajaran dengan gaya yang santai sesuai karakter siswa yang saya bimbing, sesekali saya menulis di majalah. Diantaranya di Media Pendidikan Jatim. Saya tunjukkan tulisan yang dimuat di majalah tersebut dan mereka sangat antusias. Saya menulis sejak masih kuliah (1987). Dari menulis saya bisa mendapatkan honor yang  bisa untuk menopang biaya kuliah. Saya sudah menulis beberapa buku (Novel,  Kumpulan Cerpen dan Antologi Puisi). Diantara sekian banyak siswa yang saya bimbing ternyata ada satu yang sangat tertarik dengan apa yang saya lakukan.  Sugesti positip yang saya tanamkan membuatnya sangat mencintai pelajaran IPS. Orang tuanya sangat heran melihat perubahan anaknya. Suatu hari orang tuanya (ayahnya seorang wira usaha dan ibunya seorang guru) menyampaikan terima kasih kepada saya karena perubahan besar yang terjadi pada anaknya. Kata mereka (ayah dan ibu siswa saya yang berinisial BA, maaf saya sengaja tak menyebutkan nama terang) anaknya sering menceritakan kekagumannya kepada saya. Saya hanya tertawa dan mengatakan kepada mereka bahwa anaknya memang pandai. Saya katakan bahwa guru itu tidak bisa membuat siswanya pandai. Pandai itu bawaan lahir. Saya hanya membantu mengembangkan potensi yang dimiliki. Walaupun siswa ini hanya saya bimbing satu semester tetapi diam-diam selalu terjalin komunikasi dengan saya tanpa sepengetahuan guru yang mengajarnya. Dia senang bertanya tentang banyak hal. Ternyata dia sering menceritakan banyak hal tentang kekagumannya kepada saya. Hal itu kuketahui dari cerita orang tuanya.

            Ketika siswa ini menjadi juara OSN IPS tingkat Kabupaten Ngawi, orang tuanya tampak gembira dan bangga. Mereka menemui saya dan menyampaikan ungkapan terima kasihnya. Namun saya katakan bahwa yang membimbing anaknya sehingga menjadi juara bukan hanya saya melainkan semua Bapak Ibu guru IPS. Saya hanya memotivasi saja. Saya menyampaikan permohonan kepada orang tua siswa tersebut supaya bersikap wajar saja. Saya tidak ingin menimbulkan kecemburuan diantara guru maupun siswa. Mereka sangat memahami alasan saya.

            Pada tahun ini (2020) siswa saya yang hebat itu sudah lulus SMA 2 Madiun dan diterima di Universitas Airlangga. Sampai saat ini komunikasi saya dan orang tuanya terjalin dengan baik. Beliau sering berbagi informasi tentang prestasi yang  dicapai  putranya.  Beliau sangat bahagia mengetahui bahwa prestasi putranya bagus. Saya pun merasa bangga dan tak lupa mengucapkan selamat kepada beliau dan tentu saja juga kepada siswa saya yang hebat itu. Di luar dugaan, saya mendapat sebuah kejutan. Saya diberi hadiah sepotong batik khas Magetan sebagai tanda cinta. Saya terima hadiah itu dengan suka cita dan penuh syukur. Kupeluk siswa hebatku dan kubisikkan pesan, “Raihlah bintang yang lebih tinggi dan tetaplah rendah hati...”

     Setiap pengalaman itu istimewa. Apalagi bila kita bisa menuliskan  dan mendokumentasikannya dengan baik. Saat ini pengalaman itu mungkin biasa saja, namun sepuluh tahun lagi atau lima belas tahun lagi mungkin akan menjadi kenangan yang indah. Karya yang kita hadirkan dalam bentuk tulisan akan menjadi kenangan abadi. Walaupun kita mati karya kita akan tetap dikenang. Maka teruslah menulis sebelum nama kita ditulis di batu nisan.

Mari kita sukseskan gerakan literasi.

 

 

Ngawi, 2 Juni 2020.