“Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarah.” (Pramoedya Ananta Toer, House of Glass)
Kutipan
di atas menginspirasi banyak orang untuk menjadi penulis. Setiap orang bisa menjadi
penulis. Tak ada batasan bahwa penulis harus pandai atau harus orang baik. Bila
didasarkan pada syarat tersebut pasti sangatlah sedikit orang yang bisa menjadi
penulis. Termasuk saya pasti sudah tak memenuhi syarat. Penulis itu orang yang
merdeka. Jiwanya tak bisa dikungkung. Selalu penuh ide dan kepuasan batinnya
tak bisa diukur dengan materi. Soal mendapat honor atau mendapat gelar sebagai pengarang atau sastrawan, anggap
saja itu bonus.
Menulis Membuat Hati
Gembira
Bagi saya menulis itu bisa membuat hati gembira karena bisa
berbagi banyak hal. Saya sangat bahagia bila tulisan saya dibaca oleh banyak
orang dan bisa menjadi inspirasi. Melaluii tulisan, saya bisa menyebarluaskan
virus kebaikan dan memberikan sugesti positip kepada pembaca. (Karena saya
sebagai guru terutama memberikan motivasi dan sugesti positip kepada para
siswa). Ide-ide kreatif yang ada di benak saya bisa lebih bermanfaat bila
disampaikan kepada banyak orang tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Bisa di
mana saja dan kapan saja. Hanya tulisan yang bisa melampaui batas ruang dan
waktu. Bila hanya melalui bahasa lisan, ruang dan waktu yang kita jangkau
sangatlah terbatas. Tetapi bila dituangkan menjadi tulisan pengaruhnya akan
jauh lebih luas. Sampai kita matipun ide-ide kreatif dan virus kebaikan yang
kita sampaikan akan tetap hidup.
Guru
memiliki ruang yang sangat strategis untuk menyebarkan virus kebaikan dan
ide-ide kreatif. Para siswa bukan hanya sebagai obyek namun juga berperan
sebagai corong yang luar biasa untuk menyebarluaskan kabar gembira dan kebaikan
bagi sesama. Saya selalu bahagia bila melihat para siswa. Bagi saya mereka
adalah para juara. Di wajah mereka saya membayangkan masa depan Indonesia lima
belas tahun lagi menjadi seperti apa. Saya mengajak siswa kelas 7 untuk
membayangkan dan menghitung lima belas tahun lagi mereka akan
menjadi seperti apa. Logikanya bila sekarang kelas 7 maka tiga tahun lagi akan
masuk SMA/SMK. Tiga tahun berikutnya masuk perguruan tinggi dan bila lancar
empat tahun meraih gelar sarjana. Sepuluh tahun untuk belajar dan 5 tahun untuk
berjuang meraih pekerjaan dan penghidupan yang layak. Waktu lima belas tahun
itu bisa menjadi salah satu indikator untuk melihat keberhasilan siswa kelas 7
yang saya bimbing saat ini. Tentu saja ini ukuran menurut kaca mata saya. Boleh
percaya boleh tertawa.
Mengajar
kelas 7 itu sangat menyenangkan. Walaupun sangat kekanak-kanakan, mereka justru
lebih menantang. Menurut saya di kelas 7 inilah saat yang lebih tepat untuk menanamkan
nilai-nilai kepribadian dan pembentukan karakter. Pada umumnya para siswa kelas
7 yang saya bimbing suka mendengarkan cerita. Saya memanfaatkan hal itu untuk
memasukkan nilai-nilaii moral, hakekat hidup dan Ketuhanan sesuai iman dan
kepercayaan mereka. Dari tahun ke tahun saya semakin mengenal karakter siswa.
Pada umumnya mereka suka mendengarkan cerita dan malas membaca. Saya berpikir
bagaimana caranya menumbuhkan minat baca di kalangan mereka. Saya ajak mereka
keluar kelas dan melihat pohon asam yang rindang menghijau dihalaman SMP Negeri
1 Ngawi. Mereka saya ajak mengamati dan berimajinasi tentang pohon asam itu.
Selanjutnya mereka saya beri tugas untuk menuliskan apa saja menurut gaya dan
kemampuannya. Sekitar 30 menit belum ada satupun yang menunjukkan hasilnya. Ada
yang hanya menuliskan beberapa kalimat, bahkan ada yang tidak menuliskan
apa-apa. Saat itu saya mencoba membaur bersama mereka dan berusaha menjadi
mereka. Saya juga menulis bersama mereka. Sekitar 10 menit kemudian saya
tawarkan kepada mereka untuk membacakan tulisan saya. Mereka berebut untuk
membaca. Saat itu muncul ide di benak saya. “Bila ingin mendorong
mereka rajin membaca dan menulis, maka saya harus memberi contoh dalam tindakan
nyata.”
Pengalaman Berharga
Selain menulis untuk bahan pengajaran dengan gaya yang santai
sesuai karakter siswa yang saya bimbing, sesekali saya menulis di majalah.
Diantaranya di Media Pendidikan Jatim. Saya tunjukkan tulisan yang dimuat di
majalah tersebut dan mereka sangat antusias. Saya menulis sejak masih kuliah
(1987). Dari menulis saya bisa mendapatkan honor yang bisa untuk
menopang biaya kuliah. Saya sudah menulis beberapa buku (Novel, Kumpulan
Cerpen dan Antologi Puisi). Diantara sekian banyak siswa yang saya bimbing
ternyata ada satu yang sangat tertarik dengan apa yang saya lakukan. Sugesti
positip yang saya tanamkan membuatnya sangat mencintai pelajaran IPS. Orang
tuanya sangat heran melihat perubahan anaknya. Suatu hari orang tuanya (ayahnya
seorang wira usaha dan ibunya seorang guru) menyampaikan terima kasih kepada
saya karena perubahan besar yang terjadi pada anaknya. Kata mereka (ayah dan
ibu siswa saya yang berinisial BA, maaf saya sengaja tak menyebutkan nama
terang) anaknya sering menceritakan kekagumannya kepada saya. Saya hanya
tertawa dan mengatakan kepada mereka bahwa anaknya memang pandai. Saya katakan
bahwa guru itu tidak bisa membuat siswanya pandai. Pandai itu bawaan lahir.
Saya hanya membantu mengembangkan potensi yang dimiliki. Walaupun siswa ini
hanya saya bimbing satu semester tetapi diam-diam selalu terjalin komunikasi
dengan saya tanpa sepengetahuan guru yang mengajarnya. Dia senang bertanya
tentang banyak hal. Ternyata dia sering menceritakan banyak hal tentang
kekagumannya kepada saya. Hal itu kuketahui dari cerita orang tuanya.
Ketika
siswa ini menjadi juara OSN IPS tingkat Kabupaten Ngawi, orang tuanya tampak
gembira dan bangga. Mereka menemui saya dan menyampaikan ungkapan terima
kasihnya. Namun saya katakan bahwa yang membimbing anaknya sehingga menjadi
juara bukan hanya saya melainkan semua Bapak Ibu guru IPS. Saya hanya
memotivasi saja. Saya menyampaikan permohonan kepada orang tua siswa tersebut
supaya bersikap wajar saja. Saya tidak ingin menimbulkan kecemburuan diantara
guru maupun siswa. Mereka sangat memahami alasan saya.
Pada
tahun ini (2020) siswa saya yang hebat itu sudah lulus SMA 2 Madiun dan
diterima di Universitas Airlangga. Sampai saat ini komunikasi saya dan orang
tuanya terjalin dengan baik. Beliau sering berbagi informasi tentang prestasi
yang dicapai putranya. Beliau sangat bahagia mengetahui bahwa
prestasi putranya bagus. Saya pun merasa bangga dan tak lupa mengucapkan
selamat kepada beliau dan tentu saja juga kepada siswa saya yang hebat itu. Di
luar dugaan, saya mendapat sebuah kejutan. Saya diberi hadiah sepotong batik
khas Magetan sebagai tanda cinta. Saya terima hadiah itu dengan suka cita dan
penuh syukur. Kupeluk siswa hebatku dan kubisikkan pesan, “Raihlah bintang yang
lebih tinggi dan tetaplah rendah hati...”
Setiap pengalaman itu istimewa. Apalagi bila kita bisa menuliskan dan
mendokumentasikannya dengan baik. Saat ini pengalaman itu mungkin biasa saja,
namun sepuluh tahun lagi atau lima belas tahun lagi mungkin akan menjadi
kenangan yang indah. Karya yang kita hadirkan dalam bentuk tulisan akan menjadi
kenangan abadi. Walaupun kita mati karya kita akan tetap dikenang. Maka
teruslah menulis sebelum nama kita ditulis di batu nisan.
Mari kita sukseskan gerakan literasi.
Ngawi,
2 Juni 2020.
Mantap,sukses selalu pak
BalasHapusSip. Lanjutkan
BalasHapusTerima Kasih
BalasHapus