Jumat, 19 Juni 2020

CARA MUDAH MENULIS SASTRA

Pada tulisan sebelumnya, sudah dibahas Proses Menulis Pentigraf (https://bengekelliterasibudihantara.blogspot.com/2020/06/proses-menulis-pentigraf.html) secara jelas dan mudah. Pada kesempatan ini kita bisa mengembangkan Pentigraf (Cerpen tiga paragraf) menjadi Penagraf, Cerpen atau novel. Pentigraf merupakan cerpen singkat yang terdiri dari tiga paragraf. Bila ingin mengembangkan menjadi cerpen panjang atau novel bisa dilakukan dengan cara mengembangkan dari tiap-tiap paragraf atau bisa juga memilih paragraf tertentu. Misalnya kita memilih untuk mengembangkan dari alinea ketiga seperti contoh berikut ini.  

GURU MILENIAL 
Oleh: Budi Hantara 

     Sengat mentari membakar kotaku yang porak poranda. Mega proyek yang bermuatan politis dan sarat nuansa korupsi menggusur pemukiman warga. Deru monster penghancur memperparah tingkat polusi yang sudah melebihi ambang batas toleransi. Sebagai seorang guru di sekolah yang berada di sekitar proyek itu, aku merasa sangat terganggu. Suaraku tenggelam di antara deru suara monster penghancur yang kian menggila. Ulah murid-murid bengal milenial yang kubimbing menambah kejengkelanku. Mereka tak peduli apalagi menghormati guru. Debu globalisasi telah mengotori hati nurani mereka. Etika dan moral mereka terkontaminasi virus zaman yang ganas. 
     Menghadapi revolusi industri 4.0 tantangan guru semakin berat. Sebagai guru aku dituntut untuk membekali kompetensi yang diperlukan anak-anak bangsa. Mereka harus menjadi pribadi yang unggul dan berkwalitas. Namun kondisi dilematis yang datang dari orang sering menghadang. Guru harus sabar dan bijak menghadapi orang tua murid bengal. Sikap arogansi orang tua bisa menjadi duri yang merusak dunia pendidikan. Niat guru yang tulus untuk mendidik tidak didukung, tapi malah dihujat. Bahkan nasehat guru untuk mendidik dianggap menghardik. 
     Guru milenial harus tangguh dan pantang menyerah. Tuntutan profesi harus memiliki kompetensi tinggi. Menguasai teknologi dan selalu up date informasi. Penilaian harian pun menggunakan aplikasi CBT. Namun hari ini saat mengadakan penilaian, aku merasa dipermalukan. “Pasti ini ulah Jery, murid bengalku.” dalam hatiku mengutuk penuh curiga. Keringat membasahi keningku, karena menahan gejolak emosi. Suasana kelas semakin kacau. “Tenang, anak-anak.” Namun mereka tak peduli. Suara mereka bersautan bernada mengejek. “Haha... santai sajalah Pak. Ngapain repot-repot ulangan. Langsung kasih nilai sesuai KKM saja beres.” Ucapan Jery membuat telingaku panas. Kuemparkan tatapan garangku padanya. Jery malah berjalan ke arahku dengan kedua tangan di balik punggungnya. Aku harus waspada. Jangan-jangan membawa membawa benda tajam dan berniat jahat padaku. “Kembali ke tempat dan duduk!” bentakku menggertak. Namun dia terus melangkah mendekatiku. Hatiku berdebar-debar. Tepat di depanku dia menundukkan kepala dan keduaa tangannya memberikan kejutan. Setangkai bunga dipersembahkan padaku. “Selamat Hari Guru. Jangan bosan mendidik murid bengalmu!” semua murid mengikuti Jery, mencium tanganku dan mengucapkan selamat hari guru. 

Ngawi, 24112018 

 GURU MILENIAL
 Oleh: Budi Hantara 

     Sengat mentari membakar kotaku yang porak poranda. Mega proyek bermuatan politis dan sarat nuansa korupsi menggusur pemukiman warga. Deru monster penghancur memperparah tingkat polusi yang sudah melebihi ambang batas toleransi. Sebagai seorang guru di sekolah yang berada di sekitar proyek itu, aku merasa sangat terganggu. Suaraku tenggelam di antara deru suara monster penghancur yang kian menggila. Ulah murid-murid milenial yang bengal menambah kejengkelanku. Mereka seolah tak peduli pada guru. Debu globalisasi telah mengotori hati nurani mereka. Etika dan moral mereka terkontaminasi virus zaman yang ganas. 
     Menghadapi revolusi industri 4.0 tantangan guru semakin berat. Sebagai guru aku dituntut untuk membekali kompetensi yang diperlukan anak-anak bangsa. Mereka harus menjadi pribadi yang unggul dan berkwalitas. Namun kondisi dilematis sering datang menghadang. Guru harus sabar dan bijak menghadapi orang tua murid bengal. Sikap arogansi orang tua bisa menjadi duri yang merusak dunia pendidikan. Apalagi dengan hadirnya oknum LSM yang sering memperkeruh situasi. Niat guru yang tulus untuk mendidik tidak didukung, tetapi malah dihujat. Bahkan niat baik guru untuk mendidik, sering dianggap melanggar HAM dan berujung ke ranah hukum. 
     Guru milenial harus tangguh dan pantang menyerah. Tuntutan profesi mengharuskan memiliki kompetensi tinggi. Menguasai teknologi dan selalu up date informasi. Penilaian harian pun menggunakan aplikasi berbasis komputer (CBT). Bagiku tak menjadi masalah, namun hari ini aku menghadapi masalah. Tiba-tiba listrik di ruang kelasku mati. Perangkat yang biasanya selalu on line ikut eror. Rencana untuk mengadakan penilaian terancam batal. Anak-anak bengal dan pemalas pasti senang melihat situasi seperti ini. “Pasti ini ulah Budi, murid bengalku.” dalam hatiku mengutuk penuh curiga. Keringat membasahi keningku, karena menahan gejolak emosi. Suasana kelas semakin kacau.       “Tenang, anak-anak.” Namun mereka tak peduli. Suara mereka bersautan bernada mengejek.                 “Haha... santai sajalah, Pak. Ngapain repot-repot ulangan. Langsung kasih nilai sesuai KKM saja beres.” ucapan Budi membuat telingaku panas. Kulemparkan tatapan garangku padanya. Budi malah berjalan ke arahku dengan kedua tangan di balik punggungnya. Aku harus waspada. Jangan-jangan dia membawa benda tajam dan berniat jahat padaku. 
     “Kembali ke tempat dan duduk!” bentakku menggertak. Namun dia terus melangkah mendekatiku. Hatiku berdebar-debar. Tepat di depanku dia menundukkan kepala dan kedua tangannya memberikan kejutan. Setangkai bunga dipersembahkan padaku.
     “Selamat Hari Guru. Jangan bosan mendidik murid bengalmu!” semua murid mengikuti Budi, mencium tanganku dan mengucapkan selamat hari guru. 
    Satu minggu berikutnya aku mengajar di kelas IX i yang bisanya super heboh. Namun hari itu suasananya sangat berbeda. Tak terdengar suara bernada saling mengejek seperti biasanya. Sebelum memulai pelajaran, seperti biasa aku mengecek kehadiran murid-muridku. Ternyata Budi sudah empat hari tidak masuk tanpa keterangan. 
     “Ada yang tahu tentang Budi?” tanyaku. Adi sebagai ketua kelas menjawab dengan nada meyakinkan. 
    “Katanya mau keluar, Pak. Dia sudah izin keluar dari WAG kelas dan tak bisa dihubungi lagi. Gawainya tidak aktif.”
     “Apa alasannya mau keluar?”
     “Tidak tahu, Pak.”
     “Terima kasih informasinya. Sekarang mari kita lanjutkan pelajaran.” Walaupun berusaha mengajar seperti biasanya, sesungguhnya gejolak hatiku tak karuan. Sebagai wali kelas aku bertanggung jawab untuk membimbing Budi sampai lulus. Seusai pelajaran, aku segera ke ruang Bimbingan Konseling untuk membahas soal Budi. Kami sepakat melakukan kunjungan ke rumah Budi. Karena guru BP sedang banyak kegiatan, maka aku berangkat sendiri. 
     Aku menyusuri jalan berdebu dengan sepeda motor tua yang selalu setia menemani perjalananku. Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya kutemukan rumah Budi. Di ujung gang buntu yang sempit aku berhenti. Kupandang rumah sederhana di dekat rumpun bambu. Kuketuk pintu dan kuucapkan salam. Samar-samar kudengar suara yang mempersilakan masuk.
     “Masuk saja. Pintunya tidak dikunci.” Aku melangkah dengan hati tak tenang. Mataku terkesiap saat melihat seorang lelaki tua tergolek di atas tempat tidur yang terbuat dari bambu.
     “Maaf, Bapak siapa?” suaranya pelan di sela-sela batuk rejan yang kronis. 
    “Saya gurunya Budi, Pak.”
     “Maaf merepotkan. Budi terpaksa saya suruh berhenti sekolah.”
     “Kenapa disuruh berhenti, Pak?”
     “Saya sudah tak bisa bekerja. Terpaksa Budi yang harus bekerja untuk menyambung hidup.” Lelaki itu menatapku seolah memohon pengertian. Spontan naluriku terketuk dan mengingatkanku pada bayangan almarhum ayahku. Kupeluk lelaki bertubuh kurus yang malang itu. Aku tak sanggup bicara lagi. Kepalaku penuh dengan berbagai rencana. Bagaimana caranya agar lelaki itu segera sehat dan Budi bisa melanjutkan sekolah. 
     Aku percaya pada kasih Tuhan. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya. Dengan penuh harap aku minta bantuan dr. Sumiati untuk menolong lelaki itu. Selain masih ada ikatan saudara, dr. Sumiati adalah mantan muridku yang baik hati. Alhamdulillah, bagai gayung bersambut, dr. Sumiati siap merawat dengan suka rela. Bahkan biaya pendidikan Budi akan ditanggung. Rasa bahagia tak terkira mendengar kesanggupan dr. Sumiati untuk menolong keluarga Budi.
     Beberapa tahun kemudian aku memasuki purna tugas.Karena faktor usia, aku sering lupa membawa dompet yang berisi surat-surat penting. Hari ini aku benar-benar senam jantung. Seorang polisi menghampiriku. Aku baru sadar bahwa dompetku di celana yang kutaruh di tempat cucian. “Pasti kena tilang” pikirku. Namun polisi itu tidak menanyakan STNK. Dia malah mencium tanganku. 
     “Saya Budi, Pak. Sekarang saya dinas di Polres Ngawi.” Mendengar kalimat itu, aku tak bisa menyembunyikan rasa bangga.
 Ngawi, 24112018 

     Baca dan bandingkan Pentigraf yang berjudul GURU MILENIAL dan cerpen GURU MILENIAL di atas. Pada contoh tersebut yang dikembangkan adalah paragraf ketiga.
Silakan mencoba. Mari berkarya dan berbagi inspirasi dalam rangka menciptakan budaya literasi yang bermartabat.

Ngawi, 20 Juni 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar